Artikel Islam: Pendapat Para Ulama Fiqih Klasik Tentang Uang
Pendapat
Para Ulama Fiqih Klasik Tentang Uang
Dalam teks-teks fiqih klasik, uang selalu berarti koin emas
(Dinar) dan perak (Dirham) – karena dua jenis uang inilah yang ada pada masa
itu. Emas dan perak ini baik berupa uang ataupun bahan batangan atau bentuk
lain sangat jelas diatur dalam kitab-kitab fiqih tersebut. Salah satu contoh
pengaturan yang sangat tegas tersebut adalah Hadits dari Abu Said, Rasulullah
SAW bersabda, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
garam dengan garam, sama banyak dan sama-sama diserahkan dari tangan ke tangan.
Barang siapa yang menambahkan atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat
Riba, penerima dan pemberi sama”. (HR Bukhari dan Ahmad).
Hadits tersebut melarang dua bentuk Riba yaitu Riba Al-Fadl
dan Riba Al-Nasi’a. Riba Al- Fadl melarang jual beli antar barang yang sama
dengan jumlah yang berbeda. Sedangkan Riba Al-Nasi’a adalah jual beli barang-barang
yang disebut diatas atau yang sejenis dengan pembayaran yang tertunda. Sebagaian
besar ulama sepakat bahwa barang-barang yang disebut diatas merujuk suatu jenis
barang – jadi tidak terbatas hanya pada yang disebut dalam hadits.Perbedaan
pendapat baru timbul pada bagaimana masing-masing jenis
didefinisikan.Pengelompokan jenis yang terkait dengan uang atau emas dan perak
juga menjadi bahan perbedaan pendapat berikutnya. Semua mazhab menggunakan
permisalan (qiyas) untuk mengelompokkan jenis barang yang sama atau berbeda
tersebut.
Imam Hanafi menginterprestasikan 6 komoditi yang dikenakan
hukum Riba berdasarkan dua karakteristik yaitu barang-barang yang ditimbang
(berdasarkan berat) dan bahan-bahan yang ditakar berdasarkan volume
(makilat).Emas dan perak masuk kategori barang yang ditimbang (mawzunat), maka
uang dihukumi berdasarkan jenis barang yang ditimbang.Berdasarkan pemahaman ini
maka berlaku pula larangan riba Al Nasi’ah untuk barang-barang lain yang biasa
ditimbang.
Imam Hambali (781M- 858M) memiliki pandangan yang mirip
dengan Imam Hanafi, namun menurut Imam Hambali uang harus diperlakukan secara
khusus.Pendapat yang senada juga datang dari Ibn Qayyim yang merupakan murid
Ibn Taimiyah tentang kedudukan uang yang khusus tersebut tidak boleh diperluas
untuk mencakup juga barang-barang lain diluar uang.
Imam Shafi’i dan Imam Malik meninterpretasikan Hadits Riba
tersebut secara berbeda. Dalam pandangan mereka, dua jenis pertama mewakili
penentu harga (athman) sedangkan empat jenis barang yang lain terkait dengan
makanan. Dengan paham ini segala bentuk jual beli yang dibayar dengan uang
secara hukum dibenarkan. Menurut Imam Shafi’i ini uang tidak bisa dikategorikan
kedalam makilat maupun mauzunat, melainkan terpisah sama sekali dari jenis
barang lainnya berdasarkan kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Lebih jauh
karena semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat sebagai alat
tukar (thamaniya), pendapat Imam Shafi’i tersebut memberikan banyak kebebasan –
dan lebih pragmatis.Pendapat ini juga memiliki alasan praktis bahwa jual beli
bahan makanan dengan uang pasti dibolehkan karena juga didukung oleh Hadits
Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi seseorang untuk memperoleh penghidupan”.
Konsep Imam Shafi’i mengenai thamaniya membuka konsep baru
tentang uang, uang tidak lagi menjadi komoditi- berbeda dengan emas dan perak
dalam bentuk aslinya. Orang memegang uang karena uang mudah dipakai untuk
membeli kebutuhan apa saja yang dibutuhkan manusia. Nilai uang adalah
berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang
terkandung dalam logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut. Meskipun
demikian Imam Shafi’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang berdasarkan
berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh kebiasaan
masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk menimbang
uang. Karena kebiasaan ini, maka yang dikategorikan Riba pada masa tersebut
adalah apabila jumlah berat yang berbeda dan bukannya dengan jumlah hitungan
yang berbeda.
Imam Malik memiliki pandangan yang lebih jauh lagi tentang
uang, ia misalnya tidak menganggap riba apabila terdapat perbedaan berat dalam
uang. Apabila ada kelebihan berat dalam pertukaran uang sejenis, Imam Malik
menganggapnya sebagai kedermawanan (tafaddul) dan perbedaan berat ini tidak
perlu dikompensasikan dengan perbedaan jumlah. Malik juga mengijinkan
sebaliknya, yaitu pertukaran uang sejenis dapat juga dilakukan melalui cara
menghitung jumlah – dan ini juga tidak perlu dikompensasikan dengan penimbangan
dengan berat. Secara historik, pemahaman antara menimbang dengan menghitung
uang merupakan langkah yang penting dalam merumuskan konsep tentang uang.
Pada saat uang sudah dicetak dalam bentuk Dinar dan Dirham
(bukan lagi dalam bentuk bahan aslinya berupa emas dan perak bongkahan) Menurut
Imam Malik Dinar dan Dirham masuk kategori barang yang harus dihitung,
alasannya adalah berdasarkan Al-Qur’an Surat Yusuf 20, “Dan mereka menjual
Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa Dirham saja, dan mereka tidak
tertarik hatinya kepada Yusuf”.
Perbedaan pendapat lain yang juga perlu mendapat perhatian
adalah menyangkut nilai tukar antara Dinar dan Dirham. Di awal-awal
perkembangan Islam uang Dinar dan Dirham digunakan secara bersama dalam suatu
wilayah yang relatif sama, karenanya mau tidak mau terjadi interaksi tukar
menukar antar keduanya. Dari sinilah para ahli fiqih berusaha merumuskan nilai
tukar Dinar terhadap Dirham dan sebaliknya sejak awal-awal Islam berkembang
tersebut.Nilai tukar ini perlu dipahami mengingat banyak hukum Islam yang
dikaitkan langsung dengan Dinar dan Dirham sekaligus.Imam Hanafi misalnya
menentukan nilai tukar berdasarkan hukum potong tangan dari Hadits Ibn Mas’ud
RA.“ Jangan memoting tangan pencuri kecuali ia mencuri (lebih dari) satu Dinar
atau 10 Dirham”. Artinya satu Dinar sama nilainya dengan sepuluh Dirham.
Sebaliknya Imam Malik (715 M- 796 M) menentukan bahwa
pencuri yang dipotong tangannya apabila dia mencuri seperempat Dinar atau 3
Dirham, yang berarti satu Dinar sama dengan 12 Dirham.
Menarik untuk disimak adalah pendapat Imam Shafi’i yang
menentukan nilai tukar berdasarkan beberapa hadits tentang potong tangan.
Menurut beliau seperempat Dinar setara dengan tiga sampai delapan Dirham, ini
berarti satu Dinar sama dengan 12 sampai 32 Dirham. Dari sini kita tahu bahwa
Imam Shafi’ilah yang pertama kali memperkenalkan nilai tukar yang mengambang
(floating rate) antar dua mata uang. Sejalan dengan ini Imam Shafi’i pula yang
memperkenalkan dasar perhitungan zakat yang berbeda antara pemilik emas dan
perak-artinya 20 Dinar sebagai nisab emas dan 200 Dirham nisab perak tidak
harus memiliki nilai yang sama .Bagi pemilik emas dia terkena nisab emas dan
bagi pemilik perak dia terkena nisab perak dan tidak perlu di equivalenkan
antar keduanya. Pendapat ini juga sejalan dengan riwayat tentang Umar bin
Khattab pada saat menentukan nilai uang darah pada saat unta menjadi mahal
(lihat di sub bab VIII.3 tentang ‘Penggunaan Dirham Masa Depan Perak’).
Perbedaan pendapat antara mazhab-mazhab yang ada juga
terkait dengan nilai intrinsik uang dan nilai yang tertera dalam uang logam
yang dicetak .Fulus dan Maghshus keduanya memiliki nilai intrinsik yang lebih
rendah dari nilai yang tercetak di koin tersebut.Secara historis fulus dan
Magshus merupakan bentuk awal uang konvensional seperti yang kita kenal
sekarang yang secara luas diterima oleh para ulama.Namun karena dua jenis koin
tersebut memiliki nilai yang jauh dibawah nilai yang tertera di koin yang bersangkutan,
maka nilai tukar keduanya sangat tidak stabil. Dampak ketidak pastian nilai
tukar ini menimbulkan bahaya lain yang disebut Gharar. Dalam konteks fiqih
klasik ketidak pastian atau Gharar ini hanya bisa di amankan melalui dua cara
yaitu ; uang hanya dinilai berdasarkan nilai intrinsik-nya seperti uang emas
dan perak; atau kalau hal ini tidak bisa dilakukan maka Fulus dan Maghshus
hanya dipakai pada lingkungan yang terbatas dimana ada kontrol sosial dan
saling kepercayaan yang kuat diantara pelaku pasar sehingga nilai keduanya
aman.
Menurut Imam Hanafi (699 M – 767 M) karena Fulus dan Maghsus
tidak ditimbang maupun ditakar maka tidak terkena hukum Riba. Imam Shafi’i (767
M-820 M) bahkan tidak menganggap Fulus sebagai uang karena tidak dapat diterima
oleh semua orang.
Belum ada Komentar untuk "Artikel Islam: Pendapat Para Ulama Fiqih Klasik Tentang Uang"
Posting Komentar