Kebijakan Fiskal Pada Masa Rasulullah

Neraca perdagangan atau neraca ekspor-impor adalah perbedaan antara nilai ekspor dan impor suatu negara pada periode tertentu, diukur menggunakan mata uang yang berlaku. Neraca positif artinya terjadi surplus perdagangan jika nilai ekspor lebih tinggi dari impor, dan sebaliknya untuk neraca negatif. Neraca pedagangan seringkali dibagi berdasarkan sektor barang dan sektor jasa.

Kebijakan ekonomi di berbagai negara di Eropa pada abad pertengahan dikelompokkan dalam merkantilisme. Pemahaman awal mengenai ketidakseimbangan perdagangan muncul dari praktek dan penyelewengan pada merkantilisme ketika sumber daya alam dari koloni di benua Amerika diekspor untuk ditukar dengan barang jadi dari Inggris, yang lalu memicu Revolusi Amerika.
=======================================

Referensi
1.      ^ Sullivan, Arthur; Steven M. Sheffrin (2003). Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New Jersey 07458: Pearson Prentice Hall. hlm. 462. ISBN 0-13-063085-3.
2.      ^ Sir Thomas Smith; dalam Jose Rizal, The Wheels of Commerce, vol. II of Civilization and Capitalism 15th–18th Century, 1979:204.
3.      ^ Thomas Mun, Oxford National Dictionary of Biography


Kebijakan Fiskal Pada Masa Rasulullah



A. Pengertian
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan Fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan (dalam konsep makro disebut dengan goverment expenditure). Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian adalah tercapainya kesejahteraan sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan, terutama ditujukan untuk mencapai alokasi sumber daya secara efisien, stabilisasi ekonomi, pertumbuhan, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan.


Kebijakan fiskal dan keuangan mendapat perhatian serius dalam perekonomian Islam sejak awal.. Dalam negara Islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syari’ah yang di jelaskan Imam Al-Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas,l kekayaan dan kepemilikan.

B. Kebijakan fiskal masa Rasulullah
Di awal masa pemerintahan Rasulullah, negara tidak mempunyai kekayaan apapun, karena sumbr penerimaan negara hampir tidak ada. Dengan adanya perang Badar pada abad ke-2 H, negara mulai mempunyai pendapatan dari seperlima rampasan perang (ghanimah) yand disebut dengan khums, 
sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Anfal (8) ayat 41:
Artinya :
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu hari bertemun ya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa bagian 1/5 adalah hak Allah, Rasul dan kerabatnya, golongan yatim, golongan miskin dan ibnu sabil. Sedangkan 4/5 sisanya adalah milik para pejuang yang berhak atas rampasan perang tersebut. Dengan demikian, bagian yang 1/5 dibagi menjadi 5 bagian yaitu: bagian untuk Allah, para fakir, para miskin dan bagi ibnu sabil. Hal ini berlangsung selama masa Rasulullah, sedangkan setelah beliau wafat maka Khulafaur Rasyidin membagi bagian yang 1/5 itu kepada 3 bagian dengan menghapuskan saham Rasul dan kerabatnya.

Selain dari khums, akibat peperangan tersebut diperoleh pula pendapatan dari tebusan tawanan perang bagi yang ditebus (rata-rata 4.000 dirham untuk tiap tawanan). Tetapi bagi yang tidak ditebus diwajibkan mengajar membaca masing-masing sepuluh orang muslim.

Kemudian sebagai akibat pengkhianatan Bani Nadhir terhadap Nabi setelah perang Uhud, Rasulullah mendapatkan tanah wakaf yang pertama dalam sejarah Islam.
Pada masa Rasulullah juga sudah terdapat Jizyah yaitu pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.besarnya jizyah satu Dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Tujuan utama adalah kebersamaan dalam menanggung beban negara yang bertugas memberikan perlindungan, keamanan dan tempat tinggal bagi mereka dan juga sebagai dorongan kepada kaum kafir untuk masuk Islam.

Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki telah baligh dan berakal sehat. Jizyah tidak wajib atas wanita, anak-anak dan orang gila. Jizyah akan berhenti dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Jizyah juga tidak wajib bagi orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan untuk membayarnya. Perintah jizyah terdapat dalam Q.S. At-Taubah. Ayat: 29:

Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Adapun sumber lain berasal dari Kharaj (pajak tanah) yang dipungut kepada nonmuslim ketika khaibar ditaklukan, jumlah kharaj dari tanah ini tetap yaitu setengah dari hasil produksi. Jadi, pengertian kharaj adalah kebijakan fiskal yang diwajibkan atas tanah pertanian di negara-negara Islam yang baru berdiri. Para fuqaha menetapkan bahwa kharaj adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin karena kemenangan mereka atas musuh-musuh mereka, kewajiban kharaj dilaksanakan setiap tahun sekali.

Sedangkan ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya 200 dirham. Jadi, ushr ini diwajibkan pada komoditas perdagangan yang di ekspor maupun diimpor dalam sebuah negara Islam. Ushr juga dipungut terhadap pedagang kafir zimmi yang melewati perbatasan, disebabkan adanya perjanjian damai antara kaum muslimin dengan mereka, yang salah satu pointnya menyebutkan tentang ushr ini.

Zakat dan ushr adalah pendapatan yang paling utama bagi negara pada masa Rasulullah hidup. Kedua jenis pendapatan ini berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Penetapan tingkat pembayaran zakat baru dilakukan pada abad ke-2 H oleh Rasulullah, sekaligus menjelaskan pula harta yang wajib dizakati, diantaranya yaittu emas, perak, perniagaan, peternakan, tanaman dan barang-barang temuan (rikaz). Sedangkan ketentuan pengeluaran zakat tercantum dalam Al-Qur’an Surat At- Taubah : ayat 60 : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk oarng-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Dengan turunnya ayat ini maka tampak jelas bagaimana ekonomi Islam sangat’Concern‘ pada kaum miskin, yang derajat kehidupannya perlu dibantu dan diangkat ke tingkat yang layak.

Selain itu masih ada lagi yang disebut dengan Amwal fadhla yaitu harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.

Instrumen lain adalah Nawaib, pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa Perang Tabuk.

Belanja pemerintahpada masa Rasulullah untuk hal-hal pokok meliputi: biaya prtahanan negara, penyaluran zakat, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang negara, biaya pendidikan dan biaya infrastruktur.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sumber penerimaan dan pendapatan pada masa Rasulullah:
Sumber pendapatan Pengeluaran Dari golongan muslim: Zakat, Ushr, Zakat fitrah, wakaf, amwal fadhla, nawaib Biaya pertahanan negara Penyaluran zakat
Pembayaran gaji pegawai pemerintah Pembayaran utang negara Biaya pendidikan
Biaya infrastruktur Dari golongan nonmuslim: Jizyah, kharaj, ushr
Dari sumber lain : ghanimah, fay, uang tebusan, hadiah dari pemimpin negara lain, pinjaman dari kaum muslim dan non muslim Untuk mengelola sumber penerimaan negara dan sumber pengeluaran negara maka rasulullah menyerahkannya kepada Baitul mal dengan menganut asas anggaran berimbang (balance budget) artinya semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran negara (goverment expenditure).


Begitulah Rasulullah meletakkan dasar-dasar kebijaksanaan fiskal yang berlandaskan keadilan, sejak awal pemerintahan Islam. Setelah Rasulullah wafat kebijaksanaan fiskal itu dilanjutkan bahkan dikembangkan oleh para penerusnya.


DAFTAR PUSTAKA

Edwin, Mustofa dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. PT. Kencana Prenada Media Group. Jakarta: 2007
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. PT. Granada Press, Jakarta: 2007


Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Kebijakan Fiskal Pada Masa Rasulullah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel