Atikel Hukum - Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia - IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia


SEJARAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Titik awal sejarah perlindungan konsumen di Indonesia belum dapat ditentukan dengan jelas. Demikian juga tentang pentahapan sejarah. Pergerakan perlindungan konsumen dari sejak awalnya hingga saat ini belum ada pihak yang melakukannya. Dalam rangka mengkaji perkembangan mengenai perlindungan di negara kita, NHT Siahaan merangkaikan kurun perkembangan tersebut berikut ini. Tentu tidak semata-mata dari sudut reaktivitas masyarakat konsumen, seperti yang terjadi di negara Amerika atau Eropa.
Berikut ini rangkai waktu perlindungan konsumen di negara kita, lebih banyak didekati dari aspek perkembangan produk hukum yang ada, termasuk pada fase Hindia Belanda. Tentunya fase-fase perkembangan demikian, tidak disangkal akan adanya pengaruh perkembangan kehidupan konsumen diluar negeri.
1.    Masa zaman Hindia Belanda
2.    Masa Setelah Kemerdekaan hingga tahun 1967
3.    Masa tahun 1967 hingga 1974
4.    Masa tahun 1974 hingga sekarang

1.    Masa zaman Hindia Belanda
Pada masa zaman Hindia Belanda, upaya perlindungan konsumen telah tampak melalui rumusan pasal-pasal dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Meskipun misalnya rumusan-rumusan tersebut tidak secara eksplisit menyebut istilah konsumen, produsen atau pelaku usaha, namun secara hakiki objek pengaturannya adalah berkaitan pula terhadap konsumen atau pihak pelaku usaha. Pengaturan pada perlindungan konsumen pada zaman ini dapat kita lihat antara lain pada:
1.    Burjelijk Wetboek (BW), yakni Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
2.    Wetboek van Strafsrecht (WvS), yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
3.    Wetboek van Koophandel (WvK), yakni Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

2.    Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1967
Dari sudut peraturan perundang-undangan dapat dilihat beberapa produk perundangan yang sudah dibuat antara lain:
1.    Undang-undang No. 10 tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti. Undang-undang No.1 tentang Barang menjadi Undang-undang.Undang-undang ini maksunya untuk menguasai dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di Indonesia.
2.    PP No. 9 Tahun 1964 tentang Standart Industri.
3.    Undang-undang No. 1 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang Pokok Perumahan. UU ini sudah diperbaharui setelah diundangkan UU No.16 Tahun 1985  tentang Rumah Susun, beserta PP No. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun sebagai peraturan oraganiknya.
4.    Undang-undang No. 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.

3.    Masa Tahun 1967 hingga 1874
Ditandai dengan hadirnya investasi yang amat pesat di Indonesia, baik dilakukan secara  joint venture maupun investasi dalam negeri. Karena investasi secara pesat dibuka setelah dikeluarkannya Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing (PMA) berdasarkan UU N0 1 tahun 1967 dan UU tentang Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) berdasarkan UU No 11 tahun 1968. Pada periode inilah Orde Baru lebih menitikberatkan ekonomi sebagai sector utama dalam merintis pembangunan.

4.    Masa Tahun 1874 Hingga Sekarang
Perkembangan ekonomi yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Barang dan/atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan/atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplemen tersatu terhadap yang lainnya. Bervariasinya produk yang semakin luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, jelas terjadi perluasan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestic maupun yang berasal dari luar negeri.
Hukum Perlindungan Konsumen merupakan cabang hukum yang bercorak Universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum asing, namun kalau dilihat dari hokum positif yang sudah ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah ada sejak dulu termasuk hukum adat.
Masalah perlindungan konsumen yang secara tegas ditangani secara khusus, baru dikenal dan tumbuh di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, sehingga belum mengakar pada segenap lapisan dan kelompok masyarakat yang ada.
Sejak tahun 1980-an, YLKI memperjuangkan hadirnya legislasi perlindungan konsumen di Indonesia. Kala itu pemerintah tidak peduli dan malah mengganggap bahwa penegakan hak-hak konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Tahun 1981, YLKI dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyusun RUU Perlindungan Konsumen dan mensosialisasikan ke sejumlah kekuatan politik, tak terkecuali DPR, namun hasilnya nihil.
Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenarnya masih pararel dengan gerakan-gerakan pertengahan abad ke-20. Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai dikenal dari gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan di Indonesia ini cukup responsive terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 Tentang Perlindungan Konsumen.
Setelah YLKI kemudian muncul organisasi-organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang tahun 1985, Yayasan Bina Lembaga Konsumen Indonesia (YBLKI) di Bandung
dan beberapa perwakilan di berbagai propinsi tanah air. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran akan hak-hak konsumen karena lembaga ini tidak hanya sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tapi juga sekaligus mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.
YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat member hasil, sebab pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Pada awal tahun 1990-an, kembali diusahakan lahirnya Undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Salah satu cirri pada masa ini adalah pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan sudah memiliki kesadaran tentang arti penting adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini diwujudkan dalam dua naskah Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu yang pertama adalah hasil kerjasama dengan fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dan yang kedua adalah hasil kerjasama dengan Lembaga  Penelitian Universitas Indonesia. Tetapi hasilnya sama saja, kedua naskah Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut tidak dibahas di DPR.
Pada akhir tahun 1990-an, Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak hanya diperjuangkan oleh lembaga konsumen dan Departemen Perdagangan, tetapi adanya tekanan di lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund). Berdasarkan desakan dari IMF itulah akhirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat dibentuk. Keberadaan Undang-undang Perlindungan Konsumen merupakan simbol kebangkitan hak-hak sipil masyarakat, sebab hak konsumen pada dasarnya juga adalah hak-hak sipil masyarakat. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga merupakan penjabaran lebih detail dari hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, walaupun judulnya mengenai perlindungan konsumen tetapi materinya lebih banyak membahas mengenai pelaku usaha dengan tujuan melindungi konsumen. Hal ini disebabkan pada umumnya kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan akibat perilaku dari pelaku usaha, sehingga perlu diatur agar tidak merugikan konsumen.
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya. Az Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak atau satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa di dalam pergaulan hidup.
Undang-undang Perlindungan Konsumen ini pun memiliki segi positif dan negative yaitu:
Segi positifnya adalah:
1.    Dengan adanya Undang-Undang ini maka hubungan hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa dapat ditanggulangi.
2.    Kedudukan konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa adalah sama dihadapan hukum.
Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia

Segi negatif dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
1.    Pengertian dan istilah yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak selalu sesuai dengan  kebutuhan konsumen dan perlindungan konsumen.
2.    Kedudukan hukum antara konsumen dan penyedia produk (pengusaha) jadi tidak berarti apa-apa, karena posisi konsumen tidak seimbang, lemah dalam pendidikan, ekonomis dan daya tawar, dibandingkan dengan pengusaha penyedia produk konsumen.
3.    Prosedur dan biaya pencarian keadilannya, belum mudah, cepat dan biayanya murah sebagaimana dikehendaki perundang-undangan yang berlaku.

Semoga Bermanfaat

Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Atikel Hukum - Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia - IAIN Zawiyah Cot Kala Langsa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel